Rabu, 24 Oktober 2012

KEBERHASILAN IMPLEMENTASI PROGRAM RASKIN (BERAS UNTUK RAKYAT MISKIN) DI KELURAHAN BOBOSAN KECAMATAN PURWOKERTO UTARA


BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah
            Kemerdekaan merupakan hasil perjuangan bangsa Indonesia oleh generasi  terdahulu. Namun bukan berarti perjuangan berakhir di titik ini saja, karena akhir  dari perjuangan merebut kemerdekaan menjadi langkah baru bagi generasi  selanjutnya untuk mempertahankan serta mengisi kemerdekaan dengan pembangunan di segala bidang kehidupan.
Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu usaha atau rangkaian usaha  pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu  bangsa, negara, dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (Siagian, 1983:2-3). Modernitas yang bertumpu pada nilai-nilai masyarakat bangsa untuk tetap terjaga dan dipertautkan menjadi asset untuk pembangunan fase yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Pembangunan sosial menurut Conyers (Soetomo,2006.312) diberi makna dalam pengertian yang lebih umum sebagai pembangunan yang dilakukan dari dan oleh rakyat. Dalam pengertian yang lain khusus pembangunan sosial dapat diartikan sabagai pembangunan yang menyangkut aspek non ekonomi dan dalam rangka tercapainya hak asasi atau kehidupan warga masyarakat sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Sumarno Nugroho dalam Soetomo (2006:312) menggunakan pengertian pembangunan sosial yang diambil dari rumusan Pre Conference Working Party dari International Conference of Sosial Welfare. Dalam rumusan tersebut, pembangunan sosial diartikan sebagai aspek keseluruhan pembangunan yang berhubungan dengan relasi-relasi sosialdan nilai-nilai yang berhubungan dengan hal itu. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa pembangunan sosial memberi perhatian kepada keseimbangan kehidupan manusia dalam memperbaiki atau menyempurnakan kondisi-kondisi sosial mereka. Rumusan tersebut termasuk pengertian pembangunan sosial yang  memiliki cakupan yang cukup luas.
Konsep pembangunan sosial juga dapat dilihat kaitannya dalam rangka upaya  mewujudkan cita-cita negara Kesejahteraan (Welfare State). Konsep tersebut bersumber dari pemahaman tentang fungsi negara. Dalam Welfare State, negara tidak lagi hanya bertugas memelihara ketertiban dan menegakkan hukum, tetapi terutama adalah meningkatkan kesejahteraan warganya (Ndraha dalam Boediono,2006:313). Dalam pandangan tersebut, negara dituntut untuk berperan aktif dalam mengusahakan kesejahteraan rakyatnya, yang didorong oleh pengakuan atau kesadaran bahwa rakyat berhak memperoleh kesejahteraan sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia. Dalam banyak hal, hak rakyat untuk memperoleh kesejahteraan ini juga akan terkait dengan hak-hak asasi manusia.
Gagasan tersebut kemudian akan membawa implikasi apabila suatu negara yang  menganut paham Welfare State tersebut menyelenggarakan program pembangunan  nasional. Dalam hal ini negara yang bersangkutan dituntut untuk menempatkan pembangunan sosial sebagai bagian integral dari pembangunan nasionalnya. Oleh sebab itu, dapat dipahami pula munculnya aspek sosial sebagai salah satu aspek dalam pembangunan nasional di samping aspek-aspek yang lain seperti ekonomi dan politik. Sebagai konsekuensinya, pemerintah harus mengalokasikan dana untuk keperluan pembangunan sosial ini, walaupun dilihat dari upaya mengejar produktivitas dan menarik manfaat ekonomis, alokasi dana tersebut dianggap tidak produktif, karena cenderung bersifat konsumtif, setidak-tidaknya dilihat dari perspektif jangka pendek. Dengan demikian, sebagai salah satu aspek dalam pembangunan nasional, bidang yang tercakup dalam pembangunan sosial meliputi hal-hal yang berada diluar aspek ekonomi, yaitu hal-hal yang tidak langsung mempengaruhi produktivitas dan tidak langsung memberi manfaat ekonomi, tetapi  berkaitan dengan harkat martabat dan hak asasinya sebagai manusia. Walaupun demikian, dilihat dari kacamata pembangunan nasional sebagai kebulatan, pembangunan sosial tersebut sering diposisikan melengkapi dan bersifat komplementer terhadap pembangunan ekonomi. Hal tersebut tercermin dalam definisi yang dirumuskan oleh Midgley (Boediono 2006.3314), yang menyebutkan bahwa pembangunan sosial adalah suatu proses perubahan sosial yang terencana yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagai suatu keutuhan, dimana pembangunan ini dilakukan untuk saling melengkapi dengan dinamika proses pembangunan ekonomi.
Negara Indonesia adalah Negara berkembang yang kemiskinannya masih merajalela. Padahal Negara yang melimpah kekayaan alamnya melimpah. Perekonomian Indonesia sejak krisis ekonomi pada pertengahan 1997 membuat kondisi penduduk Indonesia menjadi tidak stabil lagi. Apalagi di Negara berkembang seperti Indonesia jumlah angka kemiskinan belum bias dikurangi dengan jumlah yang banyak, tetapi hanya turun beberapa persen.
            Menurut Sorjono Soekanto (1990), mengartikan tentang kemiskinan sebagai suatu keadaan seseorang tidak mampu memelihara dirinya sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisik.
            Kenyataan menunjukan bahwa kemiskinan masih terdapat pada penduduk Negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Kemiskinan masih sering dihubungkan dengan keterbelakangan dan ketertinggalan. Di samping itu kemiskinan juga merupakan salah satu masalah social yang amat serius. Untuk mencari solusi yang relevan dalam memecahkan masalah kemiskinan, perlu dipahami sebab kemiskinan.
            Indonesia masih menghadapi masalah kemiskinan dan kerawanan pangan. Masalah ini menjadi perhatian nasional dan penanganannya perlu dilakukan secara terpadu melibatkan berbagai sektor baik di tingkat pusat maupun daerah. Upaya-upaya tersebut telah dicantumkan menjadi salah satu program prioritas dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2008(www.menkokesra.go.id).
            Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 1998 jumlah penduduk miskin berjumlah 36,5 juta jiwa atau 17,86% dari total jumlah penduduk Indonesia, kemudian jumlah penduduk miskin pada tahun 2003 mengalami peningkatan yakni mencapai 37,34 juta jiwa. Kemiskinan itu merata di daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Banyumas merupakan salah satu Kabupaten di daerah Jawa Tengah yang terbilang cukup maju. Pusat pemerintahan berada di Purwokerto. Walaupun terbilang cukup maju tetapi Banyumas juga mempunyai permasalahan seperti kabupaten lainnya. Selain pendidikan, penggangguran dan kesehatan, masalah kemiskinan merupakan masalah utama yang harus diatasi bersama pada tahun 2010 oleh Pemkab dan seluruh stakeholder atau pelaku pembangunan di Kabupaten Banyumas. Upaya penanggulangan kemiskinan perlu menjadi perhatian serius dalam mewujudkan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin.
            Berikut adalah data mengenai jumlah penduduk miskin yang ada di Kabupaten berdasarkan Pendataaan Program Perlindungan Sosial 2008 (PPLS08):

Jumlah Rumah Tangga Sasaran kabupaten Banyumas
Untuk Penanggulangan Kemiskinan Tahun 2010
Kode
Kecamatan
Sangat Miskin
Miskin
Hampir Miskin
Total
010
Lumbir
540
2.494
2.191
5.225
020
Wangon
884
2.974
2.640
6.498
030
Jatilawang
958
2.955
2.724
6.637
040
Rawalo
484
2.008
2.734
5.226
050
Kebasen
829
2.476
2.270
5.575
060
Kemranjen
710
2.375
2.143
5.228
070
Sumpiuh
636
1.552
1.353
3.541
080
Tambak
563
1.465
1.612
3.640
090
Somagede
261
1.326
1.923
3.510
100
Kalibagor
752
1.916
1.760
4.428
110
Banyumas
414
1.691
1.767
3.872
120
Patikraja
374
2.043
2.373
4.790
130
Purwojati
240
1.416
2.191
3.847
140
Ajibarang
1.385
4.452
3.902
9.702
150
Gumelar
363
1.986
2.209
4.558
160
Pekuncen
1.078
3.564
3.848
8.490
170
Cilongok
2.768
7.318
5.061
15.147
180
Karanglewas
851
2.583
2.427
5.881
190
Kedungbanteng
772
2.378
1.995
5.145
200
Baturraden
636
1.523
1.145
3.304
210
Sumbang
1.910
4.052
2.371
8.333
220
Kembaran
1.136
2.029
1.370
4.535
230
Sokaraja
651
1.772
1.918
4.341
710
Purwokerto Selatan
546
1.223
892
2.661
720
Purwokerto Barat
277
1.197
1.321
2.795
730
Purwokerto Timur
341
1.031
1.162
2.534
740
Purwokerto Utara
266
783
724
1.728
Total

20.625
62.500
58.046
141.171
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Banyumas
Dari data tersebut Kecamatan yang memiliki jumlah keluarga miskin paling sedikit adalah Kecamatan Purwokerto Utara. Itu sangat wajar, karena Purwokerto Utara merupakan daerah perkotaan yang modern dan mejadi pusat pendidikan. Sehingga banyak penduduk di daerah Purwokerto Utara membangun kost-kostan dan membangun usaha seperti warung makan, café, warnet, dsb untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Pemerintah berupaya mengedepankan peran partisipasi masyarakat dengan mengacu pada teori Bottom-Up. Dalam hal ini pemerintah berharap masyarakat dapat terpacu untuk bisa menembus perangkap kemiskinan yang melekat pada dirinya sehingga dapat mengurangi jumlah masyarakat miskin. Salah satunya adalah dengan dicanangkannya Program Penyaluran Beras Untuk Keluarga Miskin(Raskin). Program Penyaluran Beras Untuk Keluarga Miskin(Raskin) adalah sebuah program dari pemerintah. Program ini dilaksanakan di bawah tanggung jawab Departemen Dalam Negeri dan Perum Bulog sesuai dengan Surat Keputusan Bersama(SKB) Menteri Dalam Negeri dengan Direktur Utama Perum Bulog Nomor : 25 Tahun 2003 dan Nomor : PKK-12/07/2003, yang melibatkan instansi terkait, Pemerintah Daerah dan masyarakat.
Program Raskin ini bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran dari rumah tangga miskin sebagai bentuk dukungan dalam meningkatkan ketahanan pangan dengan memberikan perlindungan sosial beras murah dengan jumlah maksimal 15 Kg/rumah tangga miskin/bulan dengan masing-masing seharga Rp. 1600,00/Kg (Netto) di titik distribusi. Program ini mencakup di seluruh provinsi, sementara tanggung jawab dari distribusi beras dari gudang sampai ke titik distribusi di pegang oleh Perum Bulog (www.digilib.itb.ac.id).
Tujuan pemerintah dalam Program Raskin ini tidak mungkin luput dalam penyimpangan. Ada masalah dalam penyaluran program raskin. Mengenai salah sasaran. Program raskin yang semestinya disalurkan atau dijual kepada keluarga-keluarga miskin ternyata jatuh pada kelompok masyarakat lain (keluarga sejahtera). Salah sasaran ini banyak disebabkan oleh human error, di mana para petugas lapangan justru membagi-bagikan kupon raskin pada keluarga dekat atau teman kerabatnya. Bahkan tidak sedikit keluarga sejahtera yang "menagih jatah" beras murah tersebut. Menurut Lembaga Penelitian SMERU menyatakan bahwa Program Raskin menjangkau 52,6% rumah tangga miskin dan 36,9% termasuk rumah tangga bukan miskin (keluarga sejahtera). Bahkan World Bank (2006:215)menyatakan bahwa raskin lebih banyak diterima oleh rumah tangga bukan miskin.
Menurut Pedum Raskin 2007, terdapat indikator 6T untuk mengukur tingkat keberhasilan Raskin, yaitu tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, tepat waktu, tepat kualitas, dan tepat administrasi. Secara umum, hasil kajian ini menunjukkan bahwa efektivitas pelaksanaan Program Raskin relatif rendah. Indikasinya terlihat dari kurangnya sosialisasi dan transparansi, kekurangtepatan target penerima, harga, jumlah, dan frekuensi penerimaan beras, tingginya biaya pengelolaan program, belum optimalnya pelaksanaan monitoring, dan kurang berfungsinya mekanisme pengaduan. Uraian berikut menyajikan rincian permasalahan tesebut.
Terutama di daerah-daerah kecil seperti Kelurahan Bobosan Kecamatan Purwokerto Utara. Banyak sekali penyaluran Program Raskin yang menyimpang. Banyak rumah tangga sejahtera yang mendapatkan Raskin, padahal rumah tangga itu lebih untuk mencukupi kebutuhannya. Sampai-sampai ada satu Rukun Tetangga(RT) hampir semua rumah tangga mendapatkan Raskin, padahal rumah tangga di RT tersebut termasuk kelurga sejahtera. Ada juga RT di Kelurahan Bobosan yang warganya meminta Raskin jatah per RT dibagi rata kepada seluruh warga RT tersebut dan ketua RT menyetujuinya, akhirnya masing-masing rumah tangga mendapatkan 3kg dan dengan harga masing-masing Rp.1600,00/kg. Jadi masing-masing rumah tangga membayar Rp.6300,00 untuk 3kg Raskin.
Dari paparan implementasi Program Raskin tersebut, mengetahui masalah dalam penyaluran Program raskin. Berdasarkan pada uraian tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai Keberhasilan Implementasi Program Raskin (Beras Untuk Rakyat Miskin) di Kelurahan Bobosan Kecamatan Purwokerto Utara.
B.Perumusan Masalah
            Pemerintah sebagaimana pemerintahan daerah lain yang mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin memajukan pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah, selalu memahami masyarakat agar menjadi sejahtera dan masyarakat secara merata mendapat tempat yang layak.
            Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah permasalahan yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut:
“ Apakah Program Raskin di Kelurahan Bobosan Kecamatan Purwokerto Utara sudah berhasil? ”
C.Pembatasan Masalah
            Agar Agar masalah ini tidak terlalu luas dan terfokus pada masalah yang diteliti, maka penelitian ini dibatasi pada Keberhasilan Implementasi Program Raskin (Beras Untuk Rakyat Miskin) di Kelurahan Bobosan Kecamatan Purwokerto Utara yang akan dilakukan pada bulan April 2011.
D.Tujuan dan Kegunaan
    1. Tujuan Penelitian
a.       Untuk mengetahui keberhasilan Program Raskin(Beras Untuk Rakyat Miskin) di Kelurahan Bobosan Kecamatan Purwokerto Utara.
b.      Untuk mengetahui implementasi Program Raskin berjalan sesuai dengan Pedoman Umum Raskin.
    2. Kegunaan Penelitian
a.       Bagi Pemerintah, diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan suatu kebijaksanaan mengenai penganggulangan kemiskinan dapatkah diselesaikan dengan Program Raskin.
b.      Bagi Penulis, sebagai salah satu usaha menerapkan ilmu pengetahuan teori yang diperoleh di bangku kuliah dan menerapkan kedalam kenyataan yang ada pada masyarakat.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.Pengertian Implementasi
            Menurut Wahab 1991 : 45): Implementasi kebijakan merupakan aspek penting dari keseluruhan proses kebijakan, implementasi kebijakan tidak hanya sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik kedalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi melainkan lebih dari itu. Ini menyangkut masalah konflik, keputusan dari siapa dan memperoleh apa dari suatu kebijakan.
            Ia juga menyatakan, dalam implementasi khususnya yang dilibatkan oleh banyak organisasi pemerintah sebenarnya dapat dilihat dari 3 (tiga) sudut pandang yakni : ”(1) pemprakarsa kebijakan/pembuat kebijakan (the center atau pusat); (2) pejabat-pejabat pelaksana di lapangan (the periphery); (3) aktor-aktor perorangan diluar badan-badan pemerintah kepada siapa program-program itu diwujudkan yakni kelompok-kelompok sasaran”(Wahab,1997 :63).
            Secara garis besar garis besar dapat dikatakan bahwa fungsi implementasi kebijakan adalah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan atau sasaran kebijakan negara diwujudkan sebagai “Out come“ (hasil akhir) kegiatan kegiatan yang dilakukan pemerintah. Sebab itu fungsi implementasi mencakup pula penciptaan apa yang dalam ilmu kebijakan negara tersebut “Policy delivery system” (sistem penyampaian/penerusan kebijakan negara) yang biasanya terdiri dari cara-cara atau sarana tertentu yang dirancang/didesain secara khusus serta diarahkan menuju tercapainya tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang dikehendaki (Wahab:1990:123-124).
            Menurut Menurut Ripley & Franklin(1986:54) ada dua hal yang menjadi fokus perhatian dalam implementasi, yaitu compliance (kepatuhan) dan What”s happening ? (Apa yang terjadi ). Kepatuhan menunjuk pada apakah para implementor patuh terhadap prosedur atau standard aturan yang telah ditetapkan. Sementara untuk “what’s happening” mempertanyakan bagaimana proses implementasi itu dilakukan, hambatan apa yang muncul, apa yang berhasil dicapai, mengapa dan sebagainya.
            Jadi implementasi kebijakan tidak hanya terbatas pada tindakan/perilaku unit birokrasi untuk bertanggungjawab untuk melaksanakan program, tetapi lebih dari itu jaringan social politik dan ekonomi yang berpengaruh pada semua pihak terlibat dan akhirnya terdapat suatu dampak yang tidak diharapkan.
B.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Implementasi Kebijakan
            Menurut George C. Edward III (dalam Subarsono 2005:90) ada empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan, yaitu faktor komunikasi, sumber daya, struktur birokrasi dan disposisi.
1.      Komunikasi
Secara umum Edward membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni:
a.       Transmisi
Sebelum penjabat pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksananya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana tampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan diabaikan atau seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan yang dikelurkan.
b.      Konsisten
Jika implementasi ingin berlangsung efektif, maka perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah tersebut mempunyai unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik.

c.       Kejelasan
Edward mengidentifikasikan enam faktor terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut adalah kompleksitas kebijakan, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan dan sifat pembuatan kebijakan pengadilan.
2.      Sumber Daya
Sumber daya adalah faktor paling penting dalam implementasi kebijakan agar efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumber daya financial. Tanpa adanya sumber daya, kebijakan hanya tinggal dikertas saja menjadi dokemen.
3.      Disposisi(Kecenderungan)
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sifat atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif
4.      Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementsikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standar operating procedure atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi implementor dalam bertindak.
Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Dan pada akhirnya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.
C.Program Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin)
            Program Beras untuk Rakyat Miskin(Raskin) adalah program dari pemerintah untuk mengurangi beban pengeluaran dari rumah tangga miskin sebagai bentuk dukungan dalam meningkatkan ketahanan pangan dengan memberikan perlindungan sosial beras murah dengan jumlah maksimal 15 kg/rumah tangga miskin/bulan dengan masing-masing seharga Rp. 1600,00 per kg (netto) di titik distribusi. Program ini mencakup di seluruh provinsi, sementara tanggung jawab dari distribusi beras dari gudang sampai ke titik distribusi di kelurahan dipegang oleh Perum Bulog.
            Pelaksanaan distribusi Raskin merupakan tanggung jawab dua lembaga, yakni Bulog dan pemerintah daerah (pemda). Bulog bertanggung jawab terhadap penyaluran beras hingga titik distribusi, sedangkan pemda bertangungjawab terhadap penyaluran beras dari titik distribusi hingga rumah tangga sasaran. Selama ini Bulog telah melaksanakan tugasnya dengan relatif baik dan sesuai aturan pelaksanaan. Namun demikian, penilaian keberhasilan program tidak dapat dilakukan secara parsial, karena Raskin merupakan sebuah kesatuan program untuk menyampaikan beras bersubsidi kepada rumah tangga miskin. Berdasarkan hasil tinjauan dokumen dan studi lapangan, permasalahan pelaksanaan Raskin banyak terjadi dari titik distribusi hingga rumah tangga penerima.
1.      Tujuan dan Sasaran Program Beras untuk Rakyat Miskin(Raskin)
Program Raskin merupakan subsidi pangan sebagai upaya dari Pemerintah untuk meningkatkan ketahanan pangan dan memberikan perlindungan pada keluarga miskin melalui pendistribusian beras yang diharapkan mampu menjangkau keluarga miskin.
Tujuan program raskin adalah memberikan bantuan dan meningkatkan/membuka akses pangan keluarga miskin dalam rangka memenuhi kebutuhan beras sebagai upaya peningkatan ketahanan pangan di tingkat keluarga melalui penjualan beras kepada keluarga penerima manfaat pada tingkat harga bersubsidi dengan jumlah yang telah ditentukan dan mengurangi beban pengeluaran rumah tangga sasaran melalui pemenuhan sebangian kebutuhan pangan pokok dalam bentuk beras.
Sasarannya adalah terbantu dan terbukanya akses beras keluarga miskin yang telah terdata dengan kuantum tertentu sesuai dengan hasil musyawarah desa/kelurahan dengan harga bersubsidi di tempat, sehingga dapat membantu meningkatkan ketahanan pangan keluarga miskin.
Tahun 2009 : Sasaran Program Raskin tahun 2009 adalah berkurangnya beban pengeluaran 18,5 juta Rumah Tangga Sasaran melalui pendistribusian beras bersubsidi sebanyak 15Kg/RTS/bulan selama 12 bulan dengan harga Rp1.600/Kg netto ditempat penyerahan yang disepakati (titik distribusi).
Tahun 2010 : Sasaran Program Raskin tahun 2010 adalah berkurangnya beban pengeluaran 17,5 juta Rumah Tangga Sasaran melalui pendistribusian beras bersubsidi sebanyak 156kg/RTS/Tahun atau setara dengan 13Kg/RTS/bulan selama 12 bulan dengan harga  Rp1.600/Kg netto ditempat penyerahan yang disepakati(titik distribusi). (Sosialisasi Program Raskin 2010 oleh Ketua Pelaksana Tim Koordinasi Raskin Pusat)
2.      Prinsip Pengelolaan
Prinsip pengelolaan Raskin adalah suatu nilai-nilai dasar yang selalu menjadi landasan atau acuan dalam setiap pengambilan keputusan maupun tindakan yang akan diambil dalam pelaksanaan rangkaian kegiatan Raskin. Nilai-nilai dasar tersebut diyakini mampu mendorong terwujudnya tujuan Raskin. Keberpihakan kepada Rumah Tangga Miskin (RTM), yang maknanya mendorong RTM untuk ikut berperan aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pelestarian seluruh kegiatan Raskin baik di desa dan kecamatan, termasuk menerima manfaat atau menikmati hasilnya. Transparansi, yang maknanya membuka akses informasi kepada lintas pelaku Raskin terutama masyarakat penerima Raskin, yang harus tahu, memahami dan mengerti (www.bapeda-jabar.go.id)
3.      Sosialisasi dan Transparasi Informasi
Sosialisasi programmerupakan salah satu kunci keberhasilan sebuah program, namun kegiatan penting ini tidak diatur secara rinci dalam Pedum Raskin. Hal ini menjadi salah satu penyebab bervariasinya kegiatan sosialisasi tingkat aparat antarwilayah dan lemahnya sosialisasi kepada masyarakat.
a.       Tinjauan dokumen menyimpulkan bahwa sosialisasi Raskin kepada pelaksana di jajaran pemda mengandalkan pendekatan struktural birokratis dan umumnya tidak dilakukan secara khusus melainkan dalam bentuk rapat koordinasi. Hal tersebut sejalan dengan temuan lapangan bahwa sosialisasi kepada aparat dilakukan secara berjenjang dan seringkali digabungkan dengan monitoring dan evaluasi. Sosialisasi di tingkat provinsi dilakukan dua kali setahun, sedangkan di tingkat kabupaten/kota bergantung pada masing-masing pemda.
b.      Tinjauan dokumen dan kunjungan lapangan menyimpulkan bahwa sosialisasi kepada masyarakat yang mengandalkan penyebaran informasi informal dari aparat desa/kelurahan dan petugas pembagi merupakan salah satu titik lemah program. Umumnya masyarakat dan penerima manfaat tidak memperoleh informasi program secara menyeluruh. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak mengetahui informasi umum, seperti arti Raskin, jatah beras yang seharusnya diterima, harga beras di titik distribusi, dan frekuensi penerimaan per tahun. Namun demikian, di wilayah yang dikunjungi, umumnya masyarakat sudah mengetahui esensi program sebagai bantuan beras dari pemerintah untuk masyarakat miskin.
c.       Keterbatasan sosialisasi berpengaruh terhadap transparansi program kepada masyarakat, berpotensi menimbulkan korupsi, ketidaktepatan sasaran, dan kesalahan persepsi aparat pemda bahwa Raskin adalah program Pemerintah Pusat sehingga mempengaruhi keseriusan mereka dalam mendukung pelaksanaan program.
d.      Tinjauan dokumen dan kunjungan lapangan menunjukkan bahwa transparansi program masih lemah, baik tentang ketersediaan informasi umum program, daftar penerima manfaat, maupun tentang penentuan harga. Di semua wilayah studi tidak ditemukan adanya informasi tentang Program Raskin yang ditempel di tempat umum atau dapat diakses oleh masyarakat luas. Informasi penerima Raskin yang dapat diakses oleh masyarakat hanya ditemui di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
(Sumber: Ektifitas Pelaksanaan Raskin oleh Lembaga Penelitian SMERU)
4.      Pelaksana Program Beras untuk Rakyat Miskin(Raskin)
Kinerja pelaksanaan Raskin dapat ditinjau dari aspek-aspek sosialisasi dan transparansi informasi, alokasi, penargetan, frekuensi pendistribusian, jumlah beras yang diterima penerima manfaat, sistem pembayaran dan harga beras, serta penggunaan dana. Salah satu ukuran kinerja masing-masing aspek pelaksanaan Raskin ditentukan oleh kesesuaian antara aturan program yang tertulis dalam Pedum Raskin dengan realisasi pelaksanaan berdasarkan informasi dari tinjauan dokumen, analisis data sekunder, dan temuan lapangan.
Kepala desa/Lurah sebagai penanggung jawab di tingkat desa/kelurahan bertanggung jawab atas pelaksanaan distribusi Raskin, penyelesaian pembayaran HPB dan adminstrasi distribusi Raskin di wilayahnya. Untuk pelaksanaan distribusi Raskin di wilayahnya, kepala desa/lurah dapat memilih dan menetapkan salah satu dari 3 alternatif Pelaksana Distribusi Raskin, yaitu:
-          Kelompok Kerja(Pokja)
-          Warung Desa(Wardes)
-          Kelompok Masyarakat(Pokmas)
Pembentukan Pokmas dan Wardes diatur dalam Pedoman Teknis tersendiri yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Pedum Raskin.
5.      Penetapan Penerima Raskin
Penetapan penerima manfaat Program RASKIN di Desa/Kelurahan menggu­nakan mekanisme Musyawarah Desa/Kelurahan yang dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Musyawarah Desa/Kelurahan dilakukan untuk menentukan nama-nama calon penerima manfaat untuk ditetapkan sebagai RTM penerima manfaat sesuai dengan sasaran.
Musyawarah Desa/Kelurahan dipimpin oleh Kepala Desa/Lurah dan diikuti oleh aparat Desa/Kelurahan (termasuk Kepala Dusun/Lingkungan, RW, RT), PLKB, anggota Badan Permusya­waratan Desa/Dewan Kelurahan, institusi kemasya­rakatan Desa/Kelurahan, tokoh-tokoh masyarakat (agama, adat, dll.) serta perwakilan Rumah Tangga Miskin.
Daftar RTM Penerima Manfaat RASKIN (Format DPM-1) dituangkan dalam Berita Acara yang ditandatangani oleh Kepala Desa/Lurah, dan disahkan oleh Camat setempat.  RTM Penerima Manfaat yang tercantum dalam DPM-1 diberikan identitas berupa tanda tertentu.
Mekanisme Musyawarah Desa/Kelurahan lebih rinci diatur oleh Tim RASKIN Provinsi atau Tim RASKIN Kabupaten/Kota dalam Pedoman Pelaksanaan atau Petunjuk Teknis.
6.      Mekanisme Distribusi
a.       Bupati/Walikota mengajukan Surat Permintaan Alokasi (SPA) kepada Kadivre/Kasubdivre/KaKansilog berdasarkan alokasi pagu RASKIN dan Rumah Tangga Miskin Penerima Manfaat RASKIN di masing-masing Kecamatan dan Desa/Kelurahan.
b.      Berdasarkan SPA, Kadivre/Kasubdivre/KaKansilog menerbitkan SPPB/DO beras untuk masing-masing Kecamatan/Desa/Kelurahan kepada SATKER RASKIN pada saat beras akan didistribusikan ke Titik Distribusi. Apabila terdapat tunggakan Harga Penjualan Beras (HPB) pada periode sebelumnya maka penerbitan SPPB/DO ditangguhkan sampai ada pelunasan.
c.       Berdasarkan SPPB/DO, SATKER RASKIN mengambil beras di gudang penyimpanan Perum BULOG, mengangkut dan menyerahkan beras RASKIN kepada Pelaksana Distribusi di Titik Distribusi. Kualitas beras yang diserahkan, harus sesuai dengan kualitas beras BULOG. Apabila dalam penyerahan ditemukan beras tidak memenuhi standar maka beras dikembalikan kepada SATKER RASKIN untuk diganti/ditukar.
d.      Pelaksanaan Distribusi menyerahkan beras kepada Rumah Tangga Miskin Penerima Manfaat RASKIN secara perorangan atau kelompok yang mewakili masyarakat.
e.       Mekanisme distribusi secara lebih rinci agar diatur dalam Pedoman Pelaksanaan RASKIN Provinsi atau Petunjuk Teknis RASKIN Kabupaten/ Kota disesuaikan dengan kondisi obyektif masing-masing daerah.
f.        Penyerahan beras di Titik Distribusi dituangkan dalam Berita Acara Serah Terima (BAST) yang ditandatangani oleh SATKER RASKIN dan Pelaksana Distribusi yang menerima beras RASKIN serta diketahui oleh Kepala Desa/ Lurah/Camat atau pejabat yang mewakili/ditunjuk.  Nama dan identitas penandatangan dicantumkan secara jelas dan dicap/stempel Desa/Kelurahan/Kecamatan.
g.      Berdasarkan BAST, Divre/Subdivre/Kansilog membuat rekapi­tulasi Berita Acara pelaksanaan RASKIN masing-masing Kecamatan (Format MBA-O) yang ditanda­tangani SATKER RASKIN Divre/Subdivre/Kansilog dan Tim RASKIN Kecamatan serta diketahui oleh Camat atau pejabat yang mewakili/ditunjuk.
h.      Berdasarkan MBA-O, Divre/Subdivre/Kansilog membuat Rekapitulasi Berita Acara Pelaksanaan RASKIN Kabupaten/Kota (Format MBA-1) yang ditanda­tangani oleh Kadivre/Kasubdivre/KaKansilog dan Bupati/Walikota atau pejabat yang mewakili, serta seorang Saksi dari Tim RASKIN Daerah.  Nama dan identitas penandatangan dicantumkan secara jelas dan dicap/distempel.
i.        Pembuatan MBA-1 bisa dilakukan secara bertahap tanpa harus menunggu MBA-O selesai seluruhnya.  Dengan demikian dalam satu Kabupaten/Kota untuk bulan alokasi yang sama dimungkinkan dibuat lebih dari 1 (satu) MBA-1.  Setelah MBA-1 selesai ditandatangani segera dikirimkan ke Divre dengan dilampiri copy SPA dan Rekap SPPB/DO(MDO).
j.        Sebelum dikirim ke Divre, dokumen administrasi distribusi tersebut diverifikasi terlebih dahulu untuk kelengkapan dan ketepatannya.  Berdasarkan MBA-1, dibuat rekapitulasi di tingkat Divre (Format MBA-2) dan langsung dikirim ke Kantor Pusat Perum BULOG.
(Sumber : Buku Pedoman Umum Raskin 2010)
7.      Mekanisme Pembayaran dan Administrasi
a.       Pembayaran Harga Penjualan Beras (HPB) RASKIN dari Rumah Tangga Miskin Penerima Manfaat kepada Pelaksana Distribusi dan dari Pelaksana Distribusi kepada SATKER RASKIN pada prinsipnya dilakukan secara  tunai  Rp. 1.600/kg netto.
b.      Pelaksanaan Distribusi membuat daftar pendistribusian beras kepada Rumah Tangga Miskin Penerima Manfaat RASKIN dan pembayarannya (DPM-2) yang ditandatangani oleh Pelaksana Distribusi dan diketahui oleh Kades/ Lurah sebagai pertanggungjawaban.
c.       Uang HPB RASKIN yang diterima Pelaksana Distribusi dari Rumah Tangga Miskin Penerima Manfaat harus langsung diserahkan kepada SATKER RASKIN dan dibuatkan Tanda Terima Pembayaran (Kuitansi atau TT HPB RASKIN) rangkap 3 oleh SATKER RASKIN.
d.      Apabila uang HPB RASKIN disetorkan langsung oleh Pelaksana Distribusi ke rekening Perum BULOG, maka bukti setor asli harus diserah­kan oleh Pelaksana Distribusi kepada SATKER RASKIN untuk kemudian diganti dengan Tanda Terima Pembayaran (Kuitansi atau TT HPB RASKIN) rangkap 3 oleh SATKER RASKIN.  Sebelumnya dikonfirmasi bukti setor tersebut pada Bank yang bersangkutan.
e.       Apabila Rumah Tangga Miskin Penerima Manfaat tidak mampu membayar tunai, maka prinsip pembayaran tunai dapat dikecualikan dengan syarat Kades/Lurah/Camat/Bupati/Walikota membuat jaminan tertulis (Format MJ) dan pelunasannya selambat-lambatnya sebelum jadwal pendistribusian periode berikutnya.  Apabila sampai batas waktu pelunasan tidak dipenuhi, maka alokasi RASKIN periode berikutnya ditunda sampai pelunasannya diselesaikan.
f.        Kabupaten/Kota/Kecamatan/Desa/Kelurahan dapat menyediakan dana talangan untuk pembayaran HPB RASKIN bagi Rumah Tangga Miskin yang tidak mampu membayar secara tunai.
(Sumber : Buku Pedoman Umum Raskin 2010)
8.      Pembiayaan
a.       Subsidi RASKIN disediakan oleh pemerintah c.q. Departemen Keuangan dalam bentuk subsidi pangan yang dicantumkan dalam Undang-Undang No. 45 tahun 2007 tentang APBN 2008.
b.      Biaya operasional RASKIN dari gudang Perum BULOG sampai dan di Titik Distribusi menjadi beban Perum BULOG.
c.       Biaya operasional dari Titik Distribusi sampai di tangan Rumah Tangga Miskin Penerima Manfaat RASKIN menjadi tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/ Kota dengan tetap mendorong keterlibatan/partisipasi masyarakat.
d.      Segala biaya termasuk biaya sosialisasi, koordinasi, monitoring, evaluasi dan Unit Pengaduan Masyarakat (UPM) yang dipergunakan untuk mendukung Tim Koordinasi RASKIN Pusat, Tim RASKIN Provinsi dan Tim RASKIN Kabupaten/Kota, Satker RASKIN dan Pelaksana Distribusi menjadi beban  APBN/APBD dan atau Biaya Operasional Perum BULOG.
(Sumber : Buku Pedoman Umum Raskin 2010)









BAB III
METODE PENELITIAN DAN ANALISIS

A.Sasaran Penelitian
            Sasaran penelitian ini adalah masyarakat yang menerima Program Beras untuk Rakyat Miskin(Raskin) di Kelurahan Bobosan Kecamatan Purwokerto Utara.
B.Lokasi Penelitian
            Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan Kelurahan Bobosan Kecamatan Purwokerto Utara. Dimana jumlah mayoritas masyarakatnya tergolong mampu.
C.Metode Penelitian
            Dalam Penelitian ini metode yang digunakan adalah motode kualitatif dalam bentuk deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yan diamati. Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif deskriptif dengan kegiatan pengumpulan data yang terarah berdasarkan tujuan pertanyaan-pertanyaan yang telah ditentukan.
D.Teknis Pemilihan Informan
            Teknis pemilihan informan yang digunakan adalah dengan purposive sampling, dengan cara memilih key person kemudian pemilih akan berkembang sesuai dengan kebutuhan informasi dan relevansi data yang diperlukan.
E.Metode Pengumpulan Data
            Selanjutnya kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengikuti pola yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992), yakni melalui: 1). Wawancara, 2).Observasi.
            Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan jenis wawancara dengan pedoman umum dimana peneliti dilengkapi panduan wawancara yang sangat umum yang hanya akan mencantumkan isu-isu yang harus diteliti tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Peneliti juga akan menggunakan model pertanyaan open question dan close question di dalamnya. Peneliti juga menyertakan metode wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara konvensasional yang informal, dimana proses wawancara ini didasarkan penuh pada perkembangan pertanyaan secara spontan dalam interaksi alamiah. Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan jenis observasi non partisipan, dimana observer tidak ikut terlibat penuh dalam kegiatan observasi tersebut.
F.Validalitas Data
            Teknik validalitas data yang digunakan adalah triangulasi, yaitu pengumpulan data untuk mengumpulkan data yang sama. Hal ini dilakukan untuk mengontrol data yang satu dengan data yang sama dari sumber yang berbeda, sehingga data yang dihasilkan benar-benar akurat dan tepat.
G.Fokus Penelitian
            Penelitian ini memfokuskan pada pelaksanaan Program Beras untuk Rakyat Miskin(Raskin) di Kelurahan Bobosan Kecamatan Purwokerto Utara.
H.Metode Analisis Data
            Metode analisis data dalam penelitian ini akan menggunakan metode seperti yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992) dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Reduksi Data
2.      Penyajian Data
3.      Menarik Kesimpulan
4.      Verifikasi
Reduksi data dalam penelitian ini akan dilakukan dalam bentuk proses pemilihan, pengeditan, pemusatan pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan di lapangan. Selanjutnya data yang merupakan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk matriks. Format matriks merupakan abstraksi atau penyederhanaan dari data kasar yang diperoleh dari catatan di lapangan. Penyusunan matriks beserta penentuan data kasar yang masuk akan dilakukan berdasarkan kasus atau topic bahasan. Selanjutnya dari data yang terdapat disusun dalam matriks tersebut, kemudian dilakukan penarikan kesimpulan yang dideskripsikan secara normatif.


















BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAAN

A.Gambaran Umum Desa Bobosan Kecamatan Purwokerto Utara
            Desa Bobosan merupakan salah satu desa yang berada di bawah wilayah administratif Kecamatan Purwokerto Utara dengan luas ±139,18 Ha.
Batas wilayah desa sebagai berikut :
-          Sebelah Utara Kecamatan Kedungbanteng
-          Sebelah Timur Kelurahan Purwanegara
-          Sebelah Selatan Kecamatan Purwokerto Barat
-          Sebelah Barat Kecamatan Kedungbanteng
Jumlah penduduk menurut Jenis Kelamin, Laki-laki 2.851 jiwa, Perempuan 2.838 jiwa jumlah keseluruhan 5.689 jiwa. Julmah perangkat desa:
-          Kepala Urusan 3 orang
-          Kepala Dusun 1 orang
-          Jumlah RT : 29 RT
-          Jumlah RW : 4 RW
Sarana yang ada di Desa Bobosan Kecamatan Purwokerto Utara :
-          Sarana Peribadatan : masjid 4 buah, moshola 14 buah,
-          Posyandu 12 buah,
-          Sarana Pendidikan : TK 2 buah, SD 3 buah.
B.Identitas Informan Penelitian
Pada Bab ini akan diuraikan data-data hasil penelitian yang berhasil dikumpulkan dari jawaban informan berdasarkan hasil wawancara di lapangan. Wawancara dilakukan dengan 4orang informan yang terdiri dari Staf Kasi Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Bobosan, serta Ketua RW 8 RW 3.
Data primer dalam penelitian berasal dari wawancara dengan para informan yang  dinilai berkompeten untuk memberikan data yang dibutuhkan berkaitan dengan permasalahan penelitian. Data primer yang telah dikumpulkan kemudian disajikan dalam bentuk paparan dan penjelasan.
Pihak-pihak yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah :
1.      Bapak Arief sebagai Kasi Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Bobosan.
2.      Ibu Bambang sebagai Ibu Ketua RT 8 RW 3 Kelurahan Bobosan.
3.      Ibu Mamien Sukarmi sebagai Ketua Dawis Kencur RT 8 RW 3.
4.      Warga masyarakat penerima Raskin:
a.       Ibu Maryati
b.      Ibu Takim
B.Pembahasan
Pada awal penulisan pengamatan ini telah disebutkan bahwa tujuan dari pendistribusian Raskin ialah untuk memperkuat ketahanan pangan rumah tangga terutama rumah tangga miskin dan mengurangi beban pengeluaran Rumah Tangga Sasaran (RTS) melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan pokok dalam bentuk beras. Oleh karena itu, dalam setiap pendistribusian Raskin perlu sekali diperhatikan dan diawasi sampai ke titik pusat distribusi agar benar-benar tersalurkan dan terhindar dari penyelewengan jatah Raskin.
Pendekatan dalam implementasi program Raskin menggunakan pendekatan Top Down yang sangat umum. Dikenal dalam wacana Kebijakan Publik, padahal keputusan sering kali tidak selaras dengan materi yang diinginkan oleh masyarakat
sebagai akibat dari gerak perubahan keinginan masyarakat lebih cepat dari respon aparat biokrasi terhadap perubahan itu. (Kendala administratif seringkali membuat aparat birokrasi terkesan bekerja lambat), perbedaan karakter sosial antara birokrat dengan masyarakat menyebabkan persepsi mereka berbeda terhadap satu persoalan yang sama.
Sungguhpun demikian Sabatier (Subarsono, 2005) juga mengemukakan dua kelemahan lain dari pendekatan top-down yaitu:
1.      Sebuah kebijakan yang dirumuskan secara berkelanjutan walau secara jelas telah dirumuskan, menyulitkan pemerintah menguak nuansa persoalan baru yang berkembang dalam masyarakat.
2.      Cenderung melahirkan proses kebjakan publik yang tidak demokratis, bahkan sangat mungkin melahirkan rezim politik yang otoritarian. Pembahasan terhadap implementasi akan difokuskan pada isi dan lingkungan kebijakan dengan acuan Teori Merilee Grindle. Masing-masing bagian ini akan dibahas berdasarkan fenomena penelitian yang diamati. Proses analisis terhadap fenomena pengamatan dilakukan dengan proses triangulasi baik dari sumber informasi maupun isi informasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu yang terbatas pada saat tahap perencanaan menyebabkan program pelaksanaan Raskin terkesan “dipaksakan”. Keterbatasan waktu tersebut turut mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan masing-masing tahapan dan keseluruhan program. Dalam pentargetan ditemui adanya kesalahan sasaran (mistargeting) dalam tingkat yang relatif tinggi. Hal ini terindikasi dari adanya rumah tangga tidak miskin yang menjadi penerima Raskin (leakage) dan adanya pemerataan dalam satu RT yang hampir satu RT menjadi penerima.
Beberapa faktor yang diperkirakan melatarbelakangi kesalahan sasaran adalah:
1.      Cukup tingginya warga yang ingin mendapatkan Rakin;
2.      Prosedur penyaringan rumah tangga miskin (RTS) tidak dilakukan secara seksama;
3.      Terdapat Ketua RT yang member kebijakan dengan meratakan Raskin kepada sumua rumah tangga di tingkat rukun tetangga (RT) tersebut;
4.      Indikator kemiskinan yang digunakan kurang sensitif dalam menangkap kondisi sosial-ekonomi rumah tangga secara utuh;
5.      Konsep keluarga atau rumah tangga sasaran (RTS) Raskin tidak ditetapkan secara tegas.
Dari hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa:
1.      Alokasi pentargetan kewilayahan sampai tingkat kecamatan relatif cukup baik, sesuai dengan jumlah penduduk miskinnya;
2.      Pentargetan di tingkat RT atau RW menunjukkan hasil tingkat ketepatan sasaran yang tidak sesuai.
Seperti halnya yang dikemukakan oleh ibu Bambang sebagai Ibu Ketua RT 8 RW 3 Kelurahan Bobosan., ”Iya, saya paham siapa-siapa yang seharusnya mendapat bantuan Raskin, yaitu orang miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup akan tetapi warga di sini semua minta jatah beras, jadi ya dibagi rata
saja. Walaupun itu jatahnya orang miskin, tetapi daripada ribut-ribut ya dikasih. Warga saya harusnya yang dapat 4 orang tapi sana sini minta ya jadinya 12 orang.”
Kepentingan kelompok sasaran diakomodir dengan baik melalui tingkat Kecamatan ke tingkat Kelurahan. Lewat pertemuan-pertemuan bulanan, seperti yang dikemukakan oleh Bapak Arief sebagai Kasi Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Bobosan, ”Sudah sering terjadi, masalah datang dari warga setiap nanti pertemuan di tingkat kelurahan saya sampaikan kepada semua ketua RT bahwa pembagian harus benar-benar sesuai data dari BPS, tapi mau bagaimana lagi kalau warganya pada minta jatah semua yang harusnya dibagi buat 12 orang se-RT jadi setiap orang yang dapat jatah. Ya, jatahnya yang seharusnya 15 kg/rumah tangga jadi 3 kg/rumah tangga
Seperti halnya yang dinyatakan oleh Ibu Mamien Sukarmi sebagai Ketua Dawis Kencur RT 8 RW 3, ”ya, mau gimana lagi. Mong emang warganya kaya gini mintanya adil, tapi adil ga adil. Yang pada punya motor penghasilan tetap malah dapat Raskin, ada juga yang punya kebo banyak juga dapat Raskin. Punya percetakan juga minta jatah. Saya sudah bilang sama RTnya, tapi bisanya cuma bias pasrah sama warga.”
Hasil wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya masyarakat paham siapa sasaran Raskin (RTS) akan tetapi karena kondisi masyarakat, maka para pelaksana berdasarkan kesepakatan warga mengambil kebijakan untuk membagi rata jatah Raskin pada semua warga. Pembagian jatah Raskin secara merata ini sebetulnya telah memberikan gambaran bahwa terjadi kesalahan dalam proses pendataan terhadap keluarga miskin. Persoalan akan muncul apabila terjadi penambahan jumlah penduduk miskin di suatu wilayah. Ketika jatah Raskin didasarkan pada sistem alokasi maka akan terjadi mekanisme pengurangan jumlah beras yang diterima.
Kebijakan Program Raskin bagi rumah tangga miskin diharapkan dapat menekan peningkatan proporsi penduduk miskin. Namun , tingkat kemiskinan akan semakin tinggi jika tingkat ketepatan semakin rendah. Sementara itu, masalah ketepatan sasaran sendiri dipengaruhi oleh
mekanisme penentuan/identifikasi sasaran. Mengingat sasaran program adalah rumah tangga miskin, kriteria dan mekanisme penentuan atau pengukuran kemiskinan menjadi sangat penting, walaupun konsep dan pengukuran kemiskinan itu sendiri masih diperdebatkan oleh banyak kalangan.
Pengukuran kemiskinan dapat dibedakan dalam dua tingkatan, ukuran kemiskinan makro dan mikro. Ukuran kemiskinan makro biasanya diperlukan untuk pentargetan wilayah (geographic targeting), sedangkan ukuran kemiskinan mikro dibutuhkan untuk sasaran rumah tangga/keluarga. Pemetaan kemiskinan (poverty mapping), baik yang dihasilkan oleh BPS untuk seluruh wilayah Indonesia menyediakan ukuran-ukuran kemiskinan untuk berbagai tingkatan wilayah dari provinsi sampai dengan desa/kelurahan, yang merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menentukan pentargetan kewilayahan. Sedangkan untuk pengukuran kemiskinan mikro, yaitu rumah tangga/keluarga, dibutuhkan suatu kriteria operasional yang dapat dengan mudah digunakan untuk mengidentifikasi siapa dan bagaimana orang miskin. Untuk tujuan tersebut, umumnya digunakan pendekatan karakteristik rumah tangga.
Selama ini, kriteria keluarga prasejahtera 2 dari Badan Koordinasi  Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) banyak digunakan dalam penentuan sasaran penerima bantuan. Namun, untuk penentuan sasaran penerima program Raskin kali ini, digunakan kriteria miskin dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang ditentukan dengan menggunakan metode uji pendekatan kemampuan (proxy-means testing) dan didasarkan pada kerangka kerja kontekstual, yang berarti variabel kemiskinan untuk tiap kabupaten/kota tidak selalu sama.
a.Manfaat Raskin yang diterima oleh RTS
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum tingkat kepuasan  penerima terhadap pelaksanaan Raskin adalah paling tinggi dibanding tingkat kepuasan aparat/tokoh desa/kelurahan atau kabupaten/kota. Meskipun demikian, penerima maupun aparat/tokoh di tingkat desa/kelurahan dan kabupaten/kota menilai sosialisasi merupakan aspek yang paling tidak memuaskan. Sedangkan cara pencairan Raskin merupakan aspek yang paling memuaskan. Hasil wawancara mendalam bukan penerima juga menunjukkan kondisi tingkat kepuasan yang tidak jauh berbeda.
Penelitian ini juga menunjukkan adanya perbedaan penilaian terhadap keberadaan Raskin. Sebagian aparat kurang setuju karena menganggap Raskin sebagai “program yang hanya memberi ikan, bukannya kail”.
Sebagian aparat lainnya setuju sepanjang pelaksanaannya tepat sasaran. Sementara itu, masyarakat penerima merasa terbantu dengan keberadaan Raskin dan mereka menilai keberadaan program tidak memengaruhi etos kerja.
Pedoman umum Raskin menunjukkan bahwa tujuan program Raskin adalah mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin melalui pemenuhan pembagian kebutuhan pangan pokok dalam bentuk beras. Hal tersebut sudah sesuai dengan yang dirasakan oleh warga seperti yang dikemukakan oleh ibu Takim sebagai penerima raskin, ”Ya jelas bermanfaat sekali untuk saya disamping harganya murah ya apalagi situasi sekarang kan tidak menentu.”
Demikian juga pernyataan dari ibu Maryati sebagai penerima Raskin,”Iya ahamdulillah, saya senang sekali ada beras miskin ini, ya soalnya harganya itu yang murah, pengeluaran per bulannya lebih irit. Ketimbang kita kalau beli beras yang ada di warung harganya sampai Rp 6.000 itu saja Cuma dapt 1 kg, kalau beras miskin kan Rp 4.800 dapat 3 kg to.. Sebenarnya si saya harusnya dapat 15 kg tapi katanya pak RT suruh dibagi rata ya wis manut aja.”
Hasil dari wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat (RTS) sangat senang, merasa mendapatkan maanfaat, dan terbantu dalam pemenuhan kebutuhan pangan pokok berupa beras walaupun mereka hanya menerima 3 kg per rumah tangga dengan harga Rp 1600,-/kg seharusnya menurut PAGU Raskin 2009 per rumah tangga mendapat 15 kg dengan harga Rp 1.600/kg.
Meskipun demikian, sebagian besar RTS program Raskin merasa bahwa pembagian beras kepada warga miskin mempunyai manfaat minimal kebutuhan dalam satu minggu. Beberapa responden yang ditemui menyatakan bahwa program ini harus terus dijalankan dan kalau bisa penerimaan beras dapat tepat waktu dan tepat jumlah.
b.Ketepatan sasaran Program Raskin
Penentuan RTS yang dapat menerima Raskin sudah diputuskan oleh kelurahan yaitu dari BPS, berupa kartu yang sudah ada nama dan alamatnya. Tetapi ada warga miskin yang tidak dapat Raskin. Sebaliknya warga yang cukup mampu mendapatkan kartu sehingga terjadi keresahan. Untuk mengatasi masalah ini ketua RW berperan dalam mengatur pembagian Raskin kepada warganya. Contoh hasil wawancara dengan bapak Arief sebagai Kasi Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Bobosan, “RT 3 RW3 warga yang mendapat Raskin 12 KK, jatah Raskin hanya 180 sak @ 15 kg, Dengan musyawarah warga semua warga dapat 3 kg tiap KK. Lain halnya yang terjadi di RT 1 RW 1 dimana 1 warga miskin yang menerima Raskin ya tetap 1 yang menerima.”
Hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa data BPS dapat dikatakan valid karena proses pendataannya terkoordinasi karena terjun langsung ke lapangan tetapi RT dan RW (menurut ketua RT 8 RW 3, ada warganya yang sudah tergolong mampu dapat Raskin), sehingga pengambilan keputusan untuk pembagian Raskin atas musyawarah warga dan diputuskan oleh ketua RT.
Pada dasarnya, kesederhanaan birokrasi penyelenggaraan program Raskin yang diserahkan kepada Bulog dan pemerintah daerah merupakan kunci keefisienan pelaksanaan program ini. Persoalan kemudian muncul lebih karena kedua pelaksana tersebut adalah instansi yang para karyawannya biasa bekerja dengan pendekatan teknis, sementara kemiskinan merupakan persoalan yang berdimensi jamak dan memerlukan pendekatan sosial, ekonomi, dan politik secara komprehensif.
c.Lingkungan Kebijakan Program
Program Raskin atau sekarang lebih populer disebut dengan pembagian beras miskin terkesan sebagai program “dadakan” yang hanya mengejar target waktu untuk meredam gejolak sosial akibat kenaikan harga BBM. Hal ini tampak dari sempitnya waktu yang tersedia untuk memverifikasi data rumah tangga miskin. BPS hanya punya waktu sekitar sebulan untuk mempersiapkan teknis Program Raskin. Mulai dari mengkoordinasikan kegiatan penyiapan data rumah tangga miskin, sampai menyiapkan dan mendistribusikan kartu tanda pengenal rumah tangga miskin, serta memberikan akses data tersebut kepada instansi pemerintah lain yang melakukan kegiatan kesejahteraan sosial. Maka tak heran jika isu yang kemudian mencuat ke permukaan adalah masalah pendataan yang berakibat pada ketidaktepatan sasaran, di samping ketidakpuasan masyarakat atas pendistribusian Program Raskin.
Ketidakpuasan ini bahkan diikuti oleh berbagai pengaduan dan ancaman kepada petugas seperti RT, RW dan Kelurahan. Hal ini dikarenakan tidak ada persiapan khusus ketika juklak (petunjuk pelaksanaan) pengambilan bantuan Raskin disebarkan ke kelurahan di seluruh Indonesia.
Penanganan pengaduan tak lagi dapat dimaknai sekadar sebagai saluran kotak saran/pengaduan tanpa kejelasan penanganannya. Proses pengaduan harus berjalan berdasarkan suatu sistem/ mekanisme yang menjamin masyarakat dapat menyampaikan pengaduannya secara mudah dan murah, ada pejabat yang khusus menangani pengaduan, kejelasan waktu penyelesaiannya dan hasil akhir dari pengaduan tersebut, berupa kompensasi ganti rugi atau denda, ataupun perbaikan kebijakan dan pelaksanaan program.
Pengalaman memperlihatkan bahwa mekanisme pengaduan merupakan aspek penting dalam pengelolaan pelayanan publik, seperti pendidikan, kebersihan, dan kesehatan. Di Semarang, program yang bekerja sama dengan pemerintah daerah dan tokoh-tokoh masyarakat ini menunjukkan bahwa dengan adanya mekanisme pengaduan yang diatur dalam Surat Keputusan Walikota dan didirikannya Pusat Penanganan Pengaduan Pelayanan Publik (P5), maka banyak pengaduan masyarakat yang dapat ditindaklanjuti. Namun yang membedakan program berbasis partisipasi masyarakat ini dengan program-program yang bersifat top-down, adalah pelibatan masyarakat dalam pengidentifikasian masalah dan perumusan kebijakan mengenai pelayanan publik dan mekanisme pengaduannya.
Berkaitan dengan Program Raskin, pemerintah perlu segera mengoptimalkan fungsi infrastruktur pengaduan masyarakat di setiap tingkat pemerintahan dan daerah untuk menampung dan menyelesaikan berbagai pengaduan masyarakat menyangkut program Raskin. Tentu saja, untuk hal ini pemerintah perlu melatih petugas penanganan pengaduan yang proaktif dan sensitif.
Adanya mekanisme pengaduan yang jelas dapat memberikan umpan balik bagi pelaksanaan program pada tahap-tahap selanjutnya, selain menghindari munculnya berbagai aksi kekerasan dan gejolak sosial. Pengembangan mekanisme pengaduan ini juga sepatutnya membuka kesempatan bagi munculnya inisiatif lokal dalam penyelesaian masalah yang dihadapi. d.Kekuasaan, kepentingan dan strategi implementasi Program Raskin
Keberhasilan suatu program juga dipengaruhi oleh seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan. Kekuasaan dan kepentingan yang dimiliki dari sebuah implementasi yang ada diharapkan mampu mewujudkan kehendak dan harapan rakyat. Strategi implementasi akan dapat mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan program yang sedang dilaksanakan. Kekuasaan/kewenangan dan yang membuat strategi dalam distribusi Raskin di kelurahan Bobosan adalah para ketua RT, sedangkan pak lurah hanya koordinator saja. Di tiap-tiap RT dan RW strategi distribusi Raskin berbeda-beda tergantung kondisi masyarakatnya.
-          Di RT 1 RW 1, Raskin dibagi merata kepada warga yang tidak mampu
-          Di RT 3 RW 3, Raskin dibagi merata secara bergilir
-          Di RT 8 RW 3, Raskin dibagi kepada semua warga yang meminta.
Berdasarkan data-data dan informasi di lapangan dapat disimpulkan bahwa kekuasaan, kepentingan cukup mampu mewujudkan kehendak dan harapan rakyat dan strategi implementasi yang dilakukan pada tiap-tiap RT dapat mencapai keberhasilan (berjalan dengan lancar).


e.Kendala Program Raskin di Kelurahan Gajahmungkur Kota Semarang
Pemerintah mengakui ada enam titik kritis atau kelemahan yang harus dibenahi dalam pengucuran bantuan Raskin tahap pertama. Keenam titik kritis tersebut meliputi:
-          proses pencacahan atau pendataan rumah tangga miskin
-          proses penetapan kategori rumah tangga miskin
-          proses pembagian kartu
-          proses penyaluran bantuan
-          proses sosialisasi
-          proses penanganan pengaduan
Sedangkan dari hasil wawancara dengan informan di lapangan, kendala yang dihadapi program Raskin di kelurahan Bobosan Kecamatan Purwokerto Utara ini antara lain:
-          Penyimpangan kualitas beras yang kadang bagus kadang jelek.
-          Pembagian kartu Raskin mengandung unsur subyektifitas sehingga tidak tepat sasaran.
-          Data RTS (Rumah Tangga Sasaran) dari BPS tidak valid dan tertutup, sehingga ada warga miskin tidak dapat kartu dan yang mampu dapat, sehingga menimbulkan ancaman, tuntutan dan kecemburuan sosial.
-          Kebijakan ketua RT bahwa semua warga dapat beras mengakibatkan pembagian Raskin tidak sesuai dengan aturan (15 kg/RTS), hal ini diakibatkan kurang sadarnya warga mampu yang seharusnya tidak dapat tetapi menuntut untuk mendapatkan bagiannya.
f.Konsep Pengelolaan Raskin ke Depan
Dalam membahas kebijakan program Raskin, penulis cenderung memilih teori dari Merilee S Grindle karena teori tersebut sesuai dengan kebutuhan dari kebijakan program Raskin yang lebih membahas masalah-masalah manajerial. Berdasarkan buku panduan umum Raskin keberhasilan pelaksanaan program Raskin ditunjukkan dengan indikator 6 tepat :
-          Tepat Sasaran Penerima Manfaat
Raskin hanya diberikan kepada RTS, dari data BPS yang telah diverifikasi dalam pertemuan tingkat desa/kelurahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa atas kesepakatan warga agar beras dibagi rata untuk semua warga.
-          Tepat Jumlah
Tiap RTS mendapatkan 15 kg per bulan selama 12 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat dibagi rata, maka setiap RTS tidak mendapatkan jumlah beras sesuai aturan tergantung dari banyak sedikitnya warga.
-          Tepat Harga; yaitu Rp 1.600/kg di titik distribusi.
Hasil penelitian tiap RTS membayar Rp 2.000/kg sehingga lebih mahal Rp 400/ kg, dengan alasan untuk membayar plastik dan transport.
-          Tepat Waktu; yaitu sesuai dengan rencana (jadwal) distribusi. Hasil penelitian : kadang-kadang mundur.
-          Tepat Administrasi; terpenuhinya persyaratan administrasi secara benar dan tepat waktu. Hasil penelitian: ada beberapa warga yang membayarnya tertunda (hutang).
-          Tepat Kualitas : kondisi beras baik, sesuai dengan standart kualitas beras pemerintah. Hasil penelitian : kadang-kadang beras bewarna agak kehitam-hitaman.
Hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa keberhasilan program Raskin yang ditujukkan dengan 6 indikator tersebut masih rendah. Isu terkini di dalam penyelenggaraan negara adalah Good Governance. Termasuk kebijakan publik juga harus diletakkan di dalam kerangka praktek Good Governance di dalam kehidupan bersama. Ada 9 karakteristik Good Governance yaitu :
-          Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam formulasi keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosasi dan berbicara serta berpartisipasi secara kontruktif.
-          Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hokum untuk hak asasi manusia.
-          Transparency. Tranparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
-          Responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses-proses kelembagaan harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders.
-          Consensus orientation. Good Governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
-          Equity. Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
-          Effectiveness and efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.
-          Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sector swasta dam masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada public dan lembaga-lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
-          Strategic vision. Para pemimpin dan public harus mempunyai perspektif good governance gan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini. (Nugroho : 2003 :219)
Seharusnya kebijakan program Raskin dalam implementasinya mengacu 9 karakteristik good governance tersebut. Akan tetapi kalau kita lihat dari hasil penelitian, transparansi dan akuntabilitas tidak dapat berjalan bersama-sama, artinya bisa transparan tapi tidak akuntabel.
Seharusnya di semua wilayah sensus rumah tangga untuk mengumpulkan data sosial-ekonomi rumah tangga, termasuk struktur demografi dan karakteristik rumah tangga. Hasil sensus tersebut selanjutnya dipergunakan sebagai informasi dasar untuk melakukan analisis diskriminan guna memisahkan penduduk miskin dengan penduduk bukan miskin. Setelah data calon penerima program tersedia, program bantuan keluarga bersyarat dapat dimulai. Persyaratan dapat dikaitkan dengan kriteria keluarga miskin di Indonesia.
Secara teoritis program Raskin memang berpotensi sebagai program penanggulangan kemiskinan menyeluruh. Program ini dapat menjadi alat bagi pemerintah untuk menanggulangi kesenjangan di masyarakat saat kondisi perekonomian sedang krisis. Namun demikian, pelaksanaannya memerlukan persiapan, perencanaan serta rancang bangun yang tepat, dan perlu diperhatikan masalah yang berkaitan dengan ketergantungan masyarakat terhadap bantuan dari pemerintah serta persoalan strategi pengakhiran program (exit strategy.) Selain itu, pemerintah juga perlu memperhatikan beberapa hal berkaitan dengan penerapan program pemberian bantuan keluarga miskin. Pertama, diperlukannya percontohan dengan skala kecil sebelum program ini dijalankan secara nasional. Kedua, bahwa program bantuan keluarga miskin yang lain hendaknya bisa memberdayakan masyarakat miskin agar mereka kelak bisa keluar dari kemiskinan. Dalam hal ini, pemberdayaan keluarga miskin merupakan salah satu faktor kunci bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat secara umum yang juga perlu mendapat perhatian.
Harapan terbesar dari pelaksanaan Program Raskin ini adalah sesuai dengan tujuan Program Raskin yaitu mengurangi beban pengeluaran Rumah Tangga Miskin melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan pokok dalam bentuk beras. Akan tetapi diharapkan pula pemerintah merancang program lain yang dapat memberdayakan masyarakat miskin tersebut, sehingga tidak terlalu bergantung pada program bantuan dari pemerintah.




BAB V
PENUTUP


A.Kesimpulan
Program Raskin adalah suatu program dari pemerintah untuk mengurangi beban pengeluaran mengurangi beban pengeluaran dari rumah tangga miskin sebagai sebuah bentuk dukungan dalam meningkatkan ketahanan pangan dengan memberikan perlindungan sosial kepada rumah tangga-rumah tangga miskin melalui distribusi beras murah dengan jumlah maksimal 15 kg/ rumah tangga miskin/ bulan dengan masing-masing seharga Rp 1.600,00 per kg (netto) di titik distribusi. Program ini mencakup seluruh propinsi, sementara tanggung jawab dari distribusi beras dari gudang sampai ke titik distribusi di Kelurahan dipegang oleh Perum BULOG. Pelaksanaan program Raskin Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak di beberapa daerah selama ini masih banyak ditemukan berbagai penyimpangan, seperti hamper semua warga mandapatkan Raskin. Seharusnya semua itu harus melalui prosedur dari BPS tetapi para ketua RT membuat kebijakan yang perbeda demi keadilan para warganya.
B. Saran
Pengelolaan Raskin ke depan mengacu pada indikator kinerja Raskin terdapat enam tepat, yaitu :
1. Tepat Sasaran Penerima Manfaat
Upaya penyempurnaan kartu penerima program harus dikoordinasikan dengan RT, RW dan Kelurahan penerima Raskin sehingga transparan dan akuntabel.
2. Tepat Jumlah
Jumlah Raskin yang dibagikan ke masyarakat seharusnya sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Saat ini (tahun 2009) ditetapkan 15 kg per RTS per bulan, selama 12 bulan
3. Tepat Harga
Harga Raskin yang di bebankan pada masyarakat seharusnya sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Saat ini (tahun 2009) ditetapkan Rp. 1.600 per kilogram
4. Tepat Waktu
Jadwal distribusi ke masyarakat, sebaiknya sesuai dengan waktu yang dijadwalkan, oleh karena itu dalam hal ini, pemerintah haurs membantu operasional penyaluran raskin hingga sampai ke desa yang dituju.
5. Tepat Administrasi
Pembayaran Raskin yang tertunda (hutang) harus didesain dengan mempertimbangkan karakter perilaku masyarakat penerima Raskin misalnya dengan cara menabung sesuai kemampuan yang dikoordinir oleh tim yang ditunjuk RT, RW atau Kelurahan.
6. Tepat Kualitas
Perlu ditingkatkan terutama terkait dengan kualitas beras dimana kualitas beras ini masih sangat rendah, ada kesan bahwa beras yang diberikan sebetulnya sudah tidak layak untuk dimakan. Bulog sebagai penanggungjawab program Raskin perlu mengupayakan penyediaan beras yang terjamin kualitasnya.




DAFTAR PUSTAKA

Ekowati, Lilik. 2005. Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi atau Program. Surakarta : Pustaka Cakra

Nugroho, Riant. 2003. Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Siagian, Sondang. 1983. Administrasi Pembangunan. Jakarta: CV Haji Masagung

Soetomo. 2006. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Subarsono, AG. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Thoha, Miftah. 2002. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada

Undang-undang No. 11 Tahun 2009.

Wahab, Abdul. 2004. Analisis Kebijakan dari Formula Keimplementasian
Kebijakan Negara. Jakarta : Bumi Aksara

Wibawa, Samudra. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT Grafindo
Persada.

Yashin, Sulcahn. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (KBI-Besar) serta Ejaan
Yang Disempurnakan Dan Kosa Kata Baru. Surabaya: Amanah

www.google.co.id

www.bulog.co.id

http : // www.kompas.com / kompas-cetak /0402/10/ ekonomi/ 847162.htm


3 komentar:

  1. Izin Share Ya Kaka buat Bahan Referensi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua, Sengaja ingin menulis sedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang kesulitan masalah keuangan ingin seperti saya.. Perkenalkan nama saya abdul rochman junaidy umur 38 tahun Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa Tumbal yaitu uang gaib karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar 785 juta saya sters hampir bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa melunasi hutang saya. Secara tidak sengajah sewaktu saya buka-buka internet saya menemukan salah satu situs abah duihantoro saya baca semua isi situs beliau akhirnya saya tertarik untuk meminta bantuan kepada abah duihantoro. Awalnya sih memang saya ragu dan tidak percaya tapi selama beberapa hari saya berpikir, akhirnya saya memberanikan diri menghubungi abah duihantoro di nomer 085298463149 singkat cerita alhamdulillah beliau sanggup membantu saya melalui pesugihan uang gaib sebesar 2 milyard dan pada saat itulah saya sangat pusing memikirkan bagaimana cara saya berusaha agar bisa memenuhi persyaratan yg abah sampaikan sedangkan saya tidak punya uang sama sekali. Akhirnya saya keliling mencari pinjaman alhamdulillah ada salah satu teman saya yg mau meminjamkan uangnya akhirnya saya bisa memenuhi
      syarat yg abah duihantoro sampaikan.. singkat cerita selama 3 hari saya sudah memenuhi syaratnya saya dapat telpon dari abah untuk cek saldo rekening saya,, saya hampir pingsan melihat saldo rekening saya sebesar 2M 150 ribu rupiah. Singkat cerita bagi saudara(i) dimanapun anda berada jika anda menemukan pesan saya ini dan anda sudah berhasil mohon untuk di sebarkan agar saudara(i) kita yg diluar sana yg sedang dalam himpitan hutang atau ekonomi semua bisa bebas.. Jika saudara(i) ingin seperti saya silahkan konsultasi atau hubungi abah duihantoro di 085298463149 / whatsapp +6285298463149 sosok beliau sagat baik dan peramah dan sagat antusias membantu orang susah. Demi allah demi tuhan inilah kisah nyata saya abdul rochman junaidy semoga dengan adanya pesan singkat ini bisa bermanfaat sekian dan terima kasih...






      Hapus